- Pemerintah Pastikan Jalan Nasional dan Jalan Tol Siap Pakai Jelang Mudik Lebaran 2023
- Rayakan Hari Jadi ke-8, Lionel Group Berkomitmen Tingkatkan Layanan Pengiriman
- Jokowi Resmikan Beroperasinya Jalur Kereta Api Makassar-Parepare antar Maros-Barru
- Pameran Hyundai Serentak di 3 Kota, Promo Cicilan Mulai dari Rp1.900.000 per Bulan
- Promo Suzuki Spesial Ramadhan untuk ASN – Pegawai BUMN, DP 10% dan Cicilan hingga 7 Tahun
- All-New Kijang Innova Zenix Hybrid Sabet Penghargaan Jadi Car of The Year 2023
- Menhub: Diperkirakan 123 Juta Orang akan Mudik pada Lebaran 2023
- White Horse Bukukan Pendapatan Rp 183 miliar Selama 2022, Melonjak Sebesar 96%
- Hino Siapkan 15 Titik Layanan Servis di Jalur Mudik Sumatera dan Jawa
- JNE Bagi-Bagi Takjil dan Beragam Promo Selama Ramadhan 2023
Menanti Pemerintah Jerat Pemilik Barang Biang Truk ODOL, Punya Nyali Kah?

Demo para pengemudi
truk menyikapi penindakan kendaraan Overdimensi dan Overloading (ODOL) dengan
sasaran kritik Kementerian Perhubungan (Kemenhub) bersama dan Korps Lalu Lintas
(Korlantas) POLRI menjadi pertanda awal “perlawanan” atas ketidakadilan.
Utamanya dalam penegakan hukum oleh pemerintah dalam rangka mewujudkan program
pemerintah Indonesia menuju Zero ODOL 2023.
Jika mencermati
tuntutan pendemo dan pelaku usaha di bidang jasa angkutan barang adalah belum
adanya keadilan dalam penindakan, khususnya adanya konsekuensi hukum bagi pemilik
barang muatan. Selama ini boleh dibilang pemilik barang seakan enak-enakan
menikmati “cuan” di tengah kemelut gonjang-ganjing penindakan ODOL.
Semua pelaku usaha
di bidang jasa angkutan barang tentunya setuju dan tidak akan pernah menolak
program Zero ODOL 2023. Program ini dinilai berdampak positif, akan menciptakan
persaingan usaha yang sehat dan terciptanya keselamatan berlalu lintas. Namun
dengan catatan semua dijalankan dengan transparan, jujur, tidak tebang pilih
dan berkeadilan.
Baca Lainnya :
- Solusi Atasi Truk ODOL, Naikkan Daya Angkut Kendaraan dan Beri Amnesti Dimensi Karoseri0
- Protes Razia ODOL, Surat Terbuka Pengusaha Truk: Pak Jokowi, Kenapa Kami Selalu Disalahkan? 5
- Pusat Logistik Berikat dengan Kawasan Berikat Tak Sama, Ini Perbedaannya0
- Beda Gudang dengan Distribution Center dan Perannya dalam Rantai Pasok Restauran2
- Penerapan Tyre Management System pada Ban Truk Vulkanisir1
Penindakan ODOL
saat ini seakan menunjukkan ketidakberdayaan Kemenhub dalam membuat aturan main
di “lapangan” nya sendiri. Ditambah dengan adanya ego sektoral dari pemangku
kepentingan seperti Kementerian PUPR, Kementerian Perindustrian dan Kementerian
Perdagangan.
Sebagai contoh
adalah adanya JBI (Jumlah Berat yang Diijinkan) berbasis kelas jalan yang
ditetapkan oleh Kementerian PUPR, tidak mungkin bisa dilaksanakan secara
maksimal oleh Kementerian Perhubungan (PP
Nomor 30 Tahun 2021 Pasal). Mengingat
jangkauan operasional kendaraan angkutan barang yang fleksibel dan tidak bisa
dibatasi oleh trayek.
Kemajuan teknologi
yang seharusnya bermanfaat dan dapat dinikmati oleh rakyat menjadi sia-sia
tidak berguna. Daya angkut truk yang menjadi minim karena Muatan Sumbu Terberat
(MST) berbasis kelas jalan, modifikasi daya angkut kendaraan yang tidak bisa
diakomodir oleh regulasi.
Dikarenakan harus
mendapatkan ijin dari Agen Tunggal Pemegang Merk (ATPM) menjadi contoh adanya
hambatan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Acuan pelaksanaan penindakan
ODOL yaitu UU Nomor 22 Tahun 2009 pasal 277 untuk pelaku Overdimensi dan pasal
307 untuk Overloading hanya menyentuh pelaku langsung yaitu pengusaha angkutan
dan pengemudi saja.
Tidak akan dapat
menghentikan praktik ODOL karena salah satu unsur pelakunya yaitu pemilik
barang muatan masih dibiarkan tidak tersentuh. Dengan pola kerjasama bagi hasil
yang sudah berlangsung sejak Indonesia merdeka, berarti biaya tilang Overloading
menjadi tanggungan pengemudi truk atau dibagi dua dengan pengusaha truk.
Sedangkan, untuk
kasus pelanggaran Overdimensi sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengusaha truk,
pemilik barang tetap bebas menyuruh-nyuruh. Jika dilihat pada UU Nomor 22 Tahun
2009 Overdimensi dikategorikan sebagai kejahatan dan Overloading sebagai Pelanggaran
(Pasal 316 UU 22/2009).
Seharusnya pelaku Overloading
jika dilihat dari Perjanjian Pengangkutan Barang (Hukum Private) menyangkut 2
subyek yang tidak dapat dipisahkan yaitu pemilik barang muatan dan pengusaha
angkutan barang. Inilah hulu terjadinya pelanggaran Overloading, sehingga sudah
seharusnya kedua subyek tersebut diikat dalam satu regulasi.
Diskresi Jadi Solusi Penindakan ODOL Tepat Sasaran
Mungkin masih ada
solusi dengan pendekatan melalui UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan, untuk dibuat aturan khusus sanksi bagi terjadinya pelanggaran
Overloading. Karena Overloading dikategorikan sebagai suatu pelanggaran, maka
perlu adanya aturan sanksi dalam Administrasi Negara yang mengatur subyek yang
terlibat dalam proses pelanggaran tersebut.
Sehingga dapat melengkapi
kekurangan UU Nomor 22 Tahun 2009. Perlunya memberdayakan Kementerian
Perhubungan dan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat sebagai pejabat publik.
Agar dapat membuat
aturan main di “lapangan”nya sendiri. Melalui kewenangan pejabat dengan
berpatokan pada prinsip moral pejabat pemerintahan sesuai azas-azas umum
pemerintahan yang baik (AUPB) sebagaimana tercantum dalam UU Nomor30 Tahun 2014.
Perlunya
Kementerian Perhubungan dan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat membuat
“terobosan” dengan melakukan diskresi (Pasal 1 angka 9 UU Nomor 30 Tahun 2014).
Untuk mengakhiri polemik dasar penindakan Overloading terhadap pemilik barang
muatan. Dengan kewenangan diskresi Kementerian Perhubungan dapat membuat aturan
mengenai sanksi untuk pemilik barang muatan.
Agar gonjang-ganjing
penindakan ODOL ini dapat diakhiri dan tercipta keseimbangan serta rasa
keadilan bagi semua pelaku usaha transportasi angkutan barang.Melalui diskresi
Kementerian Perhubungan dapat membuat kebijakan yang mengakomodir kebutuhan
masyarakat khususnya dalam dunia angkutan barang.
Dimana perlunya
menyesuaikan daya angkut kendaraan seiring dengan perkembangan teknologi. Dalam
hal ini kebijakan MST yang selalu berbenturan dengan kelas jalan yang dikeluarkan
oleh Kementerian PUPR.
Kementerian
Perhubungan dan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat harus menunjukkan “nyali”
membuat aturan secara mandiri. Sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada
UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, jika ingin program yang
dicanangkannya Indonesia Zero ODOL 2023 dapat tercapai.
Sebagai pemangku
kepentingan seharusnya Kementerian Perhubungan, bisa sedikit mencontoh
Kementerian Keuangan & Direktorat Jenderal Pajak yang selalu dinamis dan
inovatif membuat terobosan-terobosan agar semua target yang diemban dapat
tercapai maksimal.
Program Indonesia
dalam mewujudkan Zero ODOL 2023 bukan hanya sekedar mimpi atau isapan jempol
belaka. Saat ini hanya kurang selangkah membuat aturan yang berkeadilan. Aturan
yang menjadi kunci suksesnya penegakan ODOL dilapangan.
Amanah dari rakyat kepada para pejabat
pemerintahan agar dapat dijalankan dengan transparan, jujur dan adil. Di dalam UU
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sudah sangat jelas
mengatur kewenangan yang diberikan, tinggal menunggu “nyali” nya saja.
Teks: Agus
Pratiknyo ****
Foto: Istimewa
****
Merupakan pengusaha angkutan barang asal Boyolali yang kini menjabat Wakil Ketua Bidang Angkutan
Distribusi & Logistik DPD APTRINDO Jateng & DIY.